I can get sad too...
And I've been sad a lot lately...
Apa gunanya membuat rencana? Jika tak satupun hal berjalan sesuai rencana. - Kim Ji Ung, Our Beloved Summer
Nggak ada satupun hal yang berjalan sesuai rencanaku, at least for the past year. Udah menerima kondisi harus turun angkatan karena cuti melahirkan, mesti turun angkatan lagi karena nggak lulus ujian kompre semester empat. Dan sekarang terancam nggak naik lagi. Hal-hal yang beruntun ini terjadi tepat setelah aku berpikir dan berencana untuk lulus secepatnya. Damn it!
The worst part is that people push me to the edge where I think, "Do you really think that I don't regret this failure that goes on and on?" Aku kesel, aku marah, jauh sebelum orang lain merasakan itu. Aku marah dengan aku yang bodoh, yang 'nggak seperti dulu lagi', yang terlalu banyak terdistraksi, yang kurang berusaha, yang nggak perform meski udah belajar tiap hari sampe larut malam, meski udah ditemenin begadang sama ibu, meski udah terpaksa ninggalin suami dan anak. I loath myself.
But this roller coaster ride, haven't stopped yet. One day I deny it, the next day I get angry about it, then I get depressed, later on I bargain to have one more chance, and back to square one. I want to just accept this so I can go on with my life. But, my support systems think that I've given up. Well, I don't know what's right anymore. I'm tired of hoping.
The first four days were fine, I got all resources I needed. The nurses, midwives, and doctors were really helpful. My family too. I got enough rest, meals, medications, and affections for me and my baby. The one and only complaint I had, and not that bad, was the spinal headache. Hence, I still got an excellent treatment. Once I came home, I felt so much pain on my left nipple, while the right nipple was too short and can't seem to satisfy the baby. The milk was trapped and the pain was amplified. What made it worse was that I had not yet bought the breast-pump, so I had to pumped it manually. I was so pissed.
The next day was another thing. Even after I pumped my breast (my hubby bought the electric one right away in the morning) and used the nipple cream, the pain was still there. I started to cry alone in the bathroom. I hated my husband when he fell asleep and didn't help me when the baby woke up. Right when I had the worst thought about him, I remembered how he had helped me all day. He woke up early then washed all of our clothes along with the baby's, he cleaned and sterilised the baby's bottles, he also played with her when I was too exhausted and asked for a time out. He did all those things without a single complaint. It made me felt guilty and cried.
When my mother-in-law came to help and handled the baby all day long to let me rest, I got annoyed. I felt like I was separated from my baby. I hated it when she bathed her in a way that was different with how I used to do it. But then, the guilty feeling came again and I cried.
I hated to see anyone. I hated it more when my mom asked me to dress nicely when they were coming. I was already so tired with all these nursing stuffs and my mom fussed me just because I didn't dress 'right'. And I really wanted to punch one of my neighbour for keep saying, "But actually you could did it (deliver the baby) without C-section, right?" after I answered that I had C-section to her question.
The worst was when I breastfed my baby and I couldn't look at her with motherly love. I got easily angry if she did not behave the way I wanted her to behave. I cried a lot in the bathroom for so much things I felt guilty about. I felt useless. I was sleep deprived. Soon I was aware that these whole things were baby blues syndrome and I should overcome it and not let it be postpartum depression (PPD). I've learnt a lot last semester about how the insecure attachment happens because of PPD and how it affects the inner world and the personality of the baby later on. I want my kid to be healthy, physically and mentally.
So, I accepted that these uncomfortable feelings was baby blues syndrome and that it was okay to feel it, even if I were a psychiatry resident. All women could suffer from it. Then, I started to make changes with my life. I started to eat more nutritious food, drink a lot of water, do the pump routinely, sleep when the baby is asleep, always keep myself clean and entertained. Last but not least, always communicate, when you need to leave the baby for toilet business or when you have something bothering you, talk to someone you trust. By the end of the second week, it got a lot better. Now, I can do everything with my kid without feeling bored or annoyed. Though I still get a little bit overwhelmed when I lack of sleep.
If you or your loved one is pregnant, always remember to be informed about mental problems that can bother the nursing, accept the feeling, communicate, ask for help, and get support. If by the end of the second week it doesn't get any better or even get worse, seek for professional help.
Hello!
Nggak terasa udah hampir waktunya si kakak keluar dari rahim mama. Hihihi. It's funny and ticklish to call myself 'mama'. Saya pengin berbagi aja mengenai beberapa highlight mengenai kehamilan pertama saya ini. Semacam what to expect when you're expecting (udah kayak judul film aja).
1. Nggak semua orang hamil ngalamin morning sickness
Yes, I am one of those who doesn't suffer from morning sickness. I did feel nausea and vomited, but not everyday. And mostly it was caused by strong and mixed up smells. Jadi secara umum nafsu makan saya baik, apa aja bisa masuk. Istilahnya ngebo. Gara-gara ini juga, berat badan naik terus pelan tapi pasti 😬
2. Sifat asli jadi keluar semua
Well, saya mengira dari awal orang udah tau bahwa saya orangnya galak dan sembrono. Ternyata, setelah hampir tiga semester bersama, temen-temen masih ngira saya orang yang wise, tenang, dan baik hati gitu. Jadi, ketika saya hamil dan jadi lebih sensitif dan fungsi ego nya menurun (baca: kurang bisa kontrol lambe), beberapa temen agak syok. Untungnya mereka calon-calon psikiater ya, jadi bisa menerima segala keluh kesah saya dengan matur. Wakakakakak. Dan sebagai orang yang kepribadiannya campuran antara kompulsif dan pasif agresif, agaknya selama hamil agresifnya makin dominan, terutama kalo udah urusan rebutan tempat duduk di kendaraan umum dan ngelihat orang sembarangan di jalan.
3. I knew I love you before I met you, itu bener adanya
Tiap malam saya dan suami suka nyetelin musik buat si kakak. Awalnya musik klasik ala Mozart gitu, lama-lama karena saya jadi selalu ketiduran dan batal belajar, akhirnya kita setelin lagu jazz for baby (walopun ending-nya juga ketiduran sih). Selain itu, kita suka banget nyanyiin kakak lagu-lagu anak-anak, bacain cerita, dan usek-usek dia biar gerak2 di perut. Dan kalo pas gini, kita suka ngomong sendiri, "Kok bisa ya kita sayang banget sama kakak? Padahal kita belum ketemu. Cuma lihat sebulan sekali di monitor USG, itupun kadang ga jelas." And even I've ready to sacrifice for her waktu tiba-tiba aja jatuh di rumah sakit. Segala upaya saya lakukan buat ngehindarin benturan di perut. Alhasil, muka saya separo kanan memar-memar dan bibir saya robek kecil, hasil nyium lantai.
4. Self-esteem turun
Banyak wanita hamil jadi insecure dengan tubuh dan wajahnya selama hamil. Jerawat, melasma, selulit, stretch mark, you name it. None of those make me less confident. Bukan berarti ngga ngalamin itu, perut saya guede banget, begitu juga pantat, sampe seringkali dikira hamil kembar atau lebih tua dari usia kehamilan sebenarnya. Awal-awal muka dekil banget, berminyak, dan jerawatan sampe temen-temen taruhan saya hamil anak cowok. Melasma dan stretch mark, jangan ditanya, meskipun ngga kelihatan karena saya pake kerudung dan jarang buka perut di muka umum, tiap abis mandi lalu ngaca keliatan jelas terpampang nyata. Justru insekuritas saya terjadi karena saya merasa badan saya berat banget, susah gerak, males ngapa-ngapain, dikit-dikit pegel, lemes atau sesak napas, even I don't have a mood for sex. And through all those times, suami saya dengan legowonya berusaha untuk membuat saya selalu nyaman. Masakin, ambilin air minum, bikinin teh jahe, jemurin pakaian, anter jemput saya ke rumah sakit, mijitin, bantuin saya bangun dari tempat tidur atau sekedar berguling. Dan saya yang lagi supersensitif ini merasa bersyukur banget atas kebaikannya, tapi di sisi lain masih aja suka ngomel kalo ada yang kurang sreg. Lalu timbullah rasa bersalah, jadi sering nangis, dan takut ditinggalin. Jadi merasa kurang worth dibanding perempuan-perempuan cakep di luar sana.
5. Jadi sadar nggak boleh kurang ajar sama mama papa
Kehamilan dan segala dramanya membawa saya ke suatu kesimpulan bahwa kita (memang) nggak boleh kurang ajar sama kedua orang tua. Bayangin susahnya dari awal hamil; mual muntah, kaki kram, napas pendek, kalo anemia kayak saya, ditambah dengan sesak napas, takikardi, hipotensi, gampang pingsan. Ketika hamil makin gede; kaki bengkak, susah tidur, sering kebelet pipis, sering laper, kontraksi perut, gatal-gatal, selalu kepanasan. Belum lagi pengorbanan papa yang berusaha bikin mama dan bayinya nyaman, mikirin biaya kontrol kehamilan, persalinan, apalagi kemarin saya juga sempet dirawat inap karena diare, juga barang-barang kebutuhan si bayi. Jadi panteslah kalo kita bikin salah ke orang tua bakal diomelin habis. Pasti sakit hatinya. Our parents don't go through that much just to raise a douchebag.
6. Perubahan pola tidur
Pas trimester pertama, semua masih aman-aman aja. Trimester kedua, itu enak-enaknya tidur Masya Allah. Pagi bangun jam 5, mandi, bikin susu, sarapan, berangkat, kerja seharian, pulang, beberes rumah, mandi, makan malam, bobo maksimal mulai jam 9. Baru deh trimester ketiga ini... Melek terus sampe jam 2an, baru bisa tidur dan harus bangun jam 5, di rumah sakit nguantuk, pulang tidur di kereta, sampe rumah melek ngga bisa tidur lagi sampe jam 2 pagi, gitu terus. Menjelang lahiran, berhubung udah cuti, tidur jam 2 bangun jam 5, olahraga, mandi, sarapan, tidur sampe jam makan siang, makan siang, nonton tivi, tidur sampe sore, mandi, makan malam, ngapain aja ga jelas sampe jam 2 pagi baru tidur lagi. Kebangun-bangun pas trimester ketiga, apalagi menjelang lahiran, disponsori oleh si kakak yang suka nendang dan sekarang kakinya udah panjang jadi kena iga dan suesek sampe kebangun, sering kebelet pipis karena kepala kakak udah masuk pintu atas panggul, dan seringkali perut gatel banget gara-gara makin melar dan mulai muncul stretch marks.
7. Disayang dan diproteksi semua orang
Terutama laki-laki. Di rumah, ada suami yang nggak ngebolehin saya bahkan bangun dari tempat tidur untuk ambil air, nyuruh saya duduk aja kalo mau bantuin dia masak, dan nggak ngebolehin saya nutup pager. Dan kadang dia suka ngomel-ngomel sendiri kalo saya tidur di bagian pinggir tempat tidur, naik tangga, dan sebagainya. Sampe kadang suka kezel sendiri jadi nggak bebas ngapa-ngapain. Apalagi abis saya jatuh gara-gara anemia, suami dan orang tua nyuruh saya tiap hari pulang pergi naik taksi huhuhuhu mahal. Pas udah cuti, pulang ke Semarang, secara ajaib papa jadi jarang nyuruh-nyuruh wkwk. Kalo ini sih, "Saya suka, saya suka," secara hampir seluruh kehidupan saya di Semarang adalah disuruh-suruh papa ini itu
Nah, sejak hamil, saya mesti banget kuat-kuatan mental untuk tetap duduk di kursi (prioritas) untuk mempertahankan hak saya dan si kecil. Masalah ini terutama terasa banget waktu trimester pertama karena perut masih terlihat langsing dan singset atau cuma sedikit nyembul kayak orang kebanyakan makan. Padahal, periode ini adalah periode yang paling paling paling butuh perhatian khusus. Pasalnya, janin masih rentan banget dan risiko keguguran masih sangat tinggi. Sayangnya, ga banyak orang yang sadar dengan kondisi kehamilan kita dan bisa jadi mengira kita boong aja.
Inget banget deh, pas periode ini saya masih harus bolak balik ke RSPAD, yang kalo dari rumah, perlu dua kali ganti bus. Nggak cuma sekali atau dua kali, saya disuruh berdiri sama mas kondektur, karena muka saya terlalu muda dan badan saya terlalu langsing kali ya buat hamil. Fufufufu. Paling kesel kalo kondekturnya bilang, "Yang masih muda, tolong bangku prioritasnya, ya," sambil ngelihat ke arah saya. Pengin banget jawab, "Emang yang muda ga bisa hamil, difabel atau bawa balita!"
Seringnya sih, kalo disuruh berdiri, saya akan jawab, "Lagi hamil." Tapi kalo emang udah deket tempat tujuan, biasanya sadar diri sih langsung kasih tempat duduk buat yang lebih membutuhkan. Kalo emang tujuan saya ngga gitu jauh, saya juga ngga segan untuk berdiri (sampe akhirnya lemash dan pengin pingsan, baru deh nyamperin kondektur untuk bilang saya lagi hamil 😅). Pernah gara-gara ini juga saya diomelin sama kondekturnya karena ga bilang dari awal kalo lagi hamil. Dia bilang, "Bahaya, Mba." Nah, yang gini ini nih saya demen.
Tapi emang sih, orang-orang tuh kejam banget. Saya udah duduk di bangku prioritas nih. Lalu masuklah mbak kantoran yang lagi hamil juga. Ga ada yang kasih tempat duduk dong. Semua asik pasang earphone dan pura-pura tidur. Saya sampe bilang ke si mbak itu, "Maaf ya Mba, saya juga hamil." Mbaknya gapapa sih, tapi saya yang ga enak dan jadi khawatir sendiri. Akhirnya saya memutuskan untuk berdiri meski lagi capek dan engap banget. Terlalu kesel sama orang-orang, tapi terlalu males untuk bikin drama, akhirnya saya berdiri di pojokan deket pintu sambil nangis. Hahaha, emang hamil bikin emosi jadi naik turun banget dah.
Pernah juga nih, pas hamil trimester 2, perut udah keliatan lebih gede, meski masih dikira gendut doang. Saya baru masuk ke TJ dan ada emak-emak masuk juga. Lalu kita melihat satu bangku kosong. Dia lari ke bangku, sementara saya terlalu khawatir jatuh jadi ga berani lari, cuma jalan cepet. Kalah deh saya. Dia sok-sokan bawa balita gitu, yang sebenernya anak temennya, bukan anak dia (yang pada akhirnya ketika dia duduk, si anak ini dibiarin aja berdiri trus jalan ke sana kemari 😑). Sampe saya ngga sengaja nyeletuk kenceng, "Dasar sampah!" dan yang denger malah bapak-bapak lansia di sebelahnya. Si bapak ngeliatin saya sekilas lalu nanya, "Lagi hamil ya, Neng?" Pas saya iyain, eh malah beliau kasih saya tempat duduknya. Dia bilang dia masih kuat dan ga lama lagi akan turun. Duh, baik banget si bapak 😥.
Lagi-lagi, kadang lelaki tuh lebih perhatian. Pernah saya naik KRL, pas hamil muda, sebelahan sama seorang ibu yang hamilnya udah guede. Trus tiap masuk stasiun baru, ada aja yang nyuruh saya berdiri dan kasih tempat duduk buat orang lain. Saya sampe capek jawabin, "Saya lagi hamil." Untungnya, bapak-bapak yang berdiri di depan saya super baik, pas ada yang nanya lagi, beliau yang jawab, "Mbaknya lagi hamil muda." Saya sampe makasih-makasih ke bapak-bapak ini. Beberapa waktu lalu juga terjadi, saya lagi berdiri di KRL yang kursi prioritasnya penuh sama gadis remaja. Trus ada bapak ini yang lihat dan tanya, "Mbak, hamil ya?" dan dia bantuin saya dapetin tempat duduk prioritas yang duduki gadis-gadis ini.
Hari ini banget nih, saya nggak habis pikir ketemu ibu-ibu menjelang lansia yang super histrionik (mukanya tua sih, tapi saya yakin umurnya pasti ngga lebih tua dari ibu saya). Saya duduk di kursi prioritas bersama seorang pegawai kantoran yang lagi hamil juga di sebelah kiri dan seorang lansia di sebelah kanan. Si ibu histrionik, masuk bersama anaknya yang bawa bayi. Mereka langsung nyodorin diri berdiri di depan kami bertiga. Padahal, di seberang saya, masih ada satu bangku prioritas yang bisa didapat dengan menyelonteng seorang remaja cewek pake masker yang nggak tau diri (soalnya si ibu ini udah heboh sedemikian rupa, dia tetep aja cuek). Jadi, gimana sih hebohnya si ibu histrionik ini?
Ketika dia berdiri di hadapan saya dan 'teman-teman sebangku saya', dia teriak-teriak kayak orang lagi didzolimi gitu lho, "Astaghfirullahaladzim, ini anak-anak muda nggak ada yang pengertian. Nggak ada yang kasih tempat duduk buat saya dan anak saya. Padahal saya ini udah tua, anak saya bawa bayi. Orang-orang ini nggak ada yang mau kasih tempat duduk buat kami." Saking kencengnya doi ngomong, semua mata tertuju pada kami. Si ibu lansia yang bobo nyenyak banget sampe bangun dan berdiri mau kasih dia tempat duduk, tapi si ibu histrionik menolak. Alasannya, "Nggak, ibu duduk aja, ibu udah tua, itu hak ibu," lalu dilanjutkan dengan, "Ya Allah, padahal udah dipasang gambar bangku prioritas itu buat siapa aja. Tapi nggak ada yang mau kasih tempat duduk." Saya dan mbak di sebelah liat-liatan. Dia bilang, "Kita juga duduk di sini karena hamil, Bu," dan saya menyauti, "Bukannya ga mau kasih, tapi kita juga butuh." Si ibu ini ngga denger, sampe akhirnya, si gadis remaja tak tau diri dan ibunya yang bawa bayi bangun karena mau turun. Dia dan anaknya yang bawa bayi itu duduk di seberang saya.
Saling curhat lah saya dan mbak kantoran yang ternyata lagi hamil 5 bulan. Di KRL kan sempet booming tuh pin khusus ibu hamil yang ceritanya mempermudah ibu hamil, terutama yang masih muda untuk dapat kursi. Ternyata, menurut mbak yang pelanggan setia KRL ini, pin itu udah ludes di berbagai stasiun. Katanya sih, cuma diproduksi 200 buah. Aelah, jumlah ibu hamil lebih dari itu kaleee. Niat kagak sih KCI bikin pin ibu hamil? Saya jadi berpikir, mestinya, tiap faskes yang melayani ibu hamil, selain kasih buku kontrol, juga kasih pin hamil. Fungsinya buat kayak gini-gini.
Sepanjang sisa jalan berikutnya saya dan mbak pegawai ini ngobrolin pengalaman susahnya dapet kursi prioritas, terutama pas masih hamil muda. Sesekali si ibu histrionik yang udah dapet tempat duduk di seberang kami melirik. Saya bales liatin dong, berkali-kali kayak gitu dan doi salting sendiri. Apalagi pas hampir sampe tujuan, saya langsung berdiri dan busungin perut. Makan tuh ribut-ribut merasa didzolimi. Kalo berani coba kasih liat KTP, situ beneran lansia?!